A. Pendahuluan
Merupakan prinsip dasar Islam, bahwa seorang muslim wajib mengikatkan perbuatannya dengan hukum syara’, sebagai konsekuensi keimanannya pada Islam. Sabda Rasulullah SAW, yang artinya :
"Tidak sempurna iman salah seorang dari kamu, hingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa (Islam)." (HR. Al-Baghawi)
Maka dari itu, sudah seharusnya dan sewajarnya seorang muslim mengetahui halal-haramnya perbuatan yang dilakukannya, dan benda-benda yang digunakannya untuk memenuhi kebutuhannya. Termasuk dalam hal ini, halal haramnya makanan, obat, dan kosmetik.
Akan tetapi, penentuan status halal haramnya suatu makanan, obat, atau kosmetik kadang bukan perkara mudah. Di satu sisi, para ulama mungkin belum seluruhnya menyadari betapa kompleksnya produk pangan, obat, dan kosmetik dewasa ini. Asal usul bahan bisa melalui jalur yang berliku-liku, banyak jalur. Bahkan dalam beberapa kasus, sulit ditentukan asal bahannya. Di sisi lain, pemahaman para ilmuwan terhadap syariah Islam, ushul fiqih dan metodologi penentuan halam haramnya suatu bahan pangan dari sisi syariah, relatif minimal. Dengan demikian seharusnya para ulama mencoba memahami kompleksnya produk pangan, obat, dan kosmetik. Sedangkan ilmuwan muslim, sudah seharusnya menggali kembali pengetahuan syariahnya, di samping membantu ulama memahami kompleksitas masalah yang ada.
Berkait dengan itu, penting sekali dikemukakan metode penentuan status hukum, baik penentuan hukum untuk masalah baru (ijtihad) maupun sekedar penerapan hukum yang sudah ada pada masalah baru (tathbiq al-hukm ‘ala mas`alah al-jadidah). Berdasarkan metode Taqiyuddin An-Nabhani (1994:201; 2001:74), terdapat 3 (tiga) langkah yang harus ditempuh dalam menetapkan satus hukum :
Pertama, memahami fakta/ problem secara apa adanya (fahmul musykilah al-qa`imah). Fakta ini dalam ilmu ushul fiqih dikenal dengan istilah manath. Di sinilah para ulama wajib memahami masalah yang ada, dibantu oleh para ilmuwan muslim.
Kedua, memahami nash-nash syara’ (fahmun nushush asy-syar’iyah) yang berkaitan dengan fakta tersebut (jika belum ada hukumnya), atau memahami hukum-hukum syara’ (fahmul ahkam asy-syar’iyah) yang telah ada yang berkaitan dengan fakta tersebut (jika sudah ada hukumnya),
Ketiga, mengistinbath hukum dari nash dan menerapkannya pada fakta; atau menerapkan hukum yang telah ada pada fakta.
Makalah ini bertujuan terutama menjelaskan hukum alkohol dalam makanan, obat, dan kosmetik. Sebelum itu, akan dijelaskan lebih dulu beberapa prinsip dasar dalam fiqih Islam dalam penentuan status hukum. Prinsip ini pula yang secara spesifik digunakan dalam makalah ini untuk meninjau hukum alkohol dalam makanan, obat, dan kosmetik.
B. Pembahasan
Prinsip-prinsip dasar berikut ini ada yang berupa suatu hukum syara’ (al-hukm al-syar’i), dan ada pula yang berupa kaidah syara’ (al-qa’idah asy-syar’iyah) yaitu kaidah umum yang dapat diterapkan untuk berbagai kasus. Berikut penjelasan sekilas prinsip-prinsip tersebut.
1. Hukum Asal Benda Adalah Mubah
Prinsip ini dalam rumusannya yang lengkap berbunyi Al-Ashlu fi al-asy-yaa` al-ibahah maa lam yarid dalil at-tahrim (hukum asal benda adalah mubah selama tidak terdapat dalil yang mengharamkannya). Yang dimaksud asy-ya` (sesuatu) dalam kaidah itu adalah materi-materi yang digunakan manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Perbuatan atau aktivitas manusia tidak termasuk di dalamnya. Kaidah ini disimpulkan dari berbagai ayat yang menyatakan bahwa segala apa yang diciptakan Allah di langit dan bumi adalah diperuntukkan bagi manusia, yaitu telah dihalalkan oleh Allah (misalnya QS Al-Baqarah [2] : 29, QS Al-Jatsiyah [45] : 13, QS Luqman [31] : 20).
Penerapan kaidah itu misalnya bagaimana status hukum hewan yang tidak ada keterangannya, apakah halal atau haram. Dalam hal ini, ditetapkan hukum asalnya, yaitu mubah. As-Subki mencontohkan, jerapah hukumnya halal, berdasarkan prinsip ini (Abdul Hamid Hakim, Mabadi` Awwaliyah, hal. 48).
2. Hukum Asal Benda Yang Berbahaya Adalah Haram
Prinsip ini berbunyi : Al-Ashlu fi al-madhaar at-tahrim (hukum asal benda yang berbahaya [mudharat] adalah haram) (Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, III/451). Prinsip ini berarti bahwa segala sesuatu materi (benda) yang berbahaya, sementara tidak terdapat nash syar’i tertentu yang melarang, memerintah, atau membolehkan, maka hukumnya haram. Sebab, syariat telah mengharamkan terjadinya bahaya. Misalnya, ecstasy dan segala macam narkoba lainnya hukumnya haram karena menimbulkan bahaya bagi penggunanya.
Dasar dari kaidah tersebut adalah hadits Nabi SAW, di antaranya sabda Nabi SAW, "Laa dharara wa laa dhirara." (Tidak boleh menimpakan bahaya bagi diri sendiri dan bahaya bagi orang lain) (HR Ibnu Majah, Ad-Daruquthni, dan lain-lain) (An-Nawawi, 2001:214).
3. Setiap Kasus dari Perbuatan/Benda Yang Mubah, Jika Berbahaya atau Membawa pada Bahaya, Maka Kasus Itu Saja Yang Haram, Sedang Hukum Asalnya Tetap Mubah
Prinsip ini dalam teks Arabnya berbunyi : Kullu fardin min afrad al-amr al-mubah idzaa kaana dhaaran aw mu`addiyan ila dharar hurrima dzalika al-fardu wa zhalla al-amru mubahan (Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, III/451). Kaidah ini berarti, suatu masalah (berupa perbuatan atau benda) yang hukum asalnya mubah, jika ada kasus tertentu darinya yang berbahaya atau menimbulkan bahaya, maka kasus itu saja yang diharamkan. Sementara hukum asalnya tetap mubah. Misalkan mandi, hukum asalnya boleh. Tapi bagi orang yang mempunyai luka luar yang parah, mandi bisa berbahaya baginya. Maka mandi bagi orang itu secara khusus adalah haram, sedangkan mandi itu sendiri tetap mubah hukumnya. Contoh lain, daging kambing, hokum asalnya mubah. Tapi bagi orang tertentu yang menderita hipertensi, daging kambing bisa berbahaya. Maka, khusus bagi orang tersebut, daging kambing hukumnya haram. Sedangkan daging kambingnya itu sendiri, hukumnya tetap mubah.
Kaidah itu didasarkan pada hadits-hadits (Abdullah, 1996:141). Antara lain, Rasul SAW pernah melarang para sahabat untuk meminum air dari sumber air di perkampungan kaum Tsamud (kaum Nabi Salih AS), karena air tersebut berbahaya. Padahal air hukum asalnya mubah (Lihat Sirah Ibnu Hisyam, IV/164).
4. Segala Perantaraan Yang Membawa Kepada Yang Haram, Hukumnya Haram
Prinsip di atas dirumuskan dalam kaidah fiqih yang berbunyi al-wasilah ila al-haraam haraam (segala perantaraan [berupa perbuatan atau benda] yang membawa kepada yang haram, hukumnya haram). Jadi, meskipun hukum asal perantara itu adalah mubah, tapi akan menjadi haram jika membawa kepada yang haram. Syarat penerapan kaidah ini ada dua; Pertama, bahwa perantara itu diduga kuat (ghalabatuzh zhann) akan membawa pada yang haram. Kedua, bahwa akibat akhir dari adanya perantara tersebut, telah diharamkan oleh suatu dalil syar’i (An-Nabhani, 2001:92). Kaidah tersebut berasal dari firman Allah SWT (artinya) : "Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa ilmu pengetahuan." (QS Al-An’aam [6] : 108)
Memaki tuhan-tuhan sembahan orang kafir, hukum asalnya mubah. Tapi kalau itu akan menimbulkan makian kepada Allah SWT, maka hukumnya menjadi haram. Dari sinilah muncul kaidah al-wasilah ila al-haraam haraam. Contoh penerapannya, adalah haramnya menjual anggur atau perasan (jus) anggur --dan yang semacamnya-- yang diketahui akan dijadikan khamr. Padahal jual beli itu hukum asalnya mubah. Tapi kalau jual beli ini akan mengakibatkan keharaman, yaitu produksi khamr, maka jual beli itu menjadi haram hukumnya, berdasarkan kaidah di atas. Apalagi, dalam masalah ini (menjual perasan anggur yang diketahui akan dibuat khamr) ada dalil khusus yang menjelaskan keharamannya. Diriwayatkan oleh Muhammad bin Ahmad RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda,""Barang siapa menahan (menutup) anggur pada hari-hari pemetikan, hingga ia menjualnya kepada orang Yahudi, Nasrani, a tau orang yang akan membuatnya menjadi khamr, maka sungguh ia akan masuk neraka" (HR Ath-Thabrani dalam Al-Ausath, dan dipandang shahih oleh Al Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalaniy). Berdasarkan hadits ini, Asy-Syaukani menyatakan haramnya menjual perasan anggur kepada orang yang akan membuatnya menjadi khamr (Nailul Authar, V/234). Asy-Syaukani tidak hanya membatasi jual beli anggur yang akan dijadikan sebagai khamr, tetapi juga mengharamkan setiap jual-beli yang akan menimbulkan keharaman, dikiaskan dengan hadits tersebut dikiaskan dengan hadits tersebut.
5. Hukum Makanan/ Minuman Tidak Didasarkan Pada Illat (Motif Penetapan Hukum)
Prinsip ini lengkapnya berbunyi Inna al-‘ibadat wa al-math’umat wa al-malbusat wa al-masyrubat wa alakhlaq laa tu’allalu wa yaltazimu fiihaa bi al-nash. (Sesungguhnya [hukum] ibadah, makanan, pakaian, minuman, dan akhlaq, tidaklah didasarkan pada illat [motif/alasan penetapan hukum], melainkan didasarkan pada nash semata) (Abdul Qadim Zallum, 1985 : 51). Kaidah tersebut diperoleh dari penelaahan induktif (istiqra`) terhadap hukum-hukum syara’ dalam masalah ibadah, makanan, pakaian, minuman, dan akhlaq. Kesimpulannya, hukum-hukum tersebut tidak mempunyai illat tertentu. Misalkan, puasa disyariatkan karena ada nash yang memerintahkannya, bukan karena alasan supaya orang yang berpuasa menjadi sehat. Khamr diharamkan karena ada nash yang mengharamkannya, bukan didasarkan pada alasan bahwa khamr itu memabukkan bagi yang meminumnya. Kesimpulan tentang khamr ini lebih dipertegas oleh penjelasan Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas RA bahwa Nabi SAW bersabda,"Diharamkannya khamr itu karena bendanya, banyak maupun sedikit. Juga (diharamkan) yang memabukkan dari setiap minuman" (HR An-Nasa'i dengan sanad hasan, Sunan An-Nasa'I VIII/320-321). Ibnu Umar RA juga meriwayatkan, ketika surat An-Nisaa' ayat 43 turun (larangan mabuk pada waktu shalat), Rasulullah SAW berkata,"Diharamkan khamr karena zatnya." (HR Abu Dawud). Dua hadits ini menunjukkan secara jelas bahwa khamr itu diharamkan karena zatnya itu sendiri, bukan karena ada illat tertentu. Hal ini sama dengan memakan daging babi atau bangkai, hukumnya haram bukan karena ada illat tertentu, tapi karena kedua benda itu diharamkan karena zatnya (berdasarkan nash).
6. Keadaan Darurat Membolehkan Yang Haram
Darurat (adh-dharurat) menurut Imam As-Suyuthi dalam Al-Asybah wa an-Nazha`ir hal. 61 adalah sampainya seseorang pada batas ketika ia tidak memakan yang dilarang, ia akan binasa (mati) atau mendekati binasa. Semakna dengan ini, darurat menurut Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dalam Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah III/477 adalah keterpaksaan yang sangat mendesak yang dikhawatirkan akan menimbulkan kebinasaan/kematian (alidhthirar al-mulji` alladzi yukhsya minhu al-halak). Itulah definisi darurat yang membolehkan hal yang haram, sebagaimana termaktub dalam kaidah fiqih termasyhur : adh-dharuratu tubiihu al-mahzhuuraat (keadaan darurat membolehkan apa yang diharamkan) (Abdul Hamid Hakim, As-Sulam, hal. 59). Kaidah itu berasal dari ayat-ayat yang membolehkan memakan yang haram seperti bangkai dan daging babi dalam kondisi terpaksa. Misalnya QS Al-Baqarah [2] : 173 dan QS Al-Maidah [5] : 3. Contoh penerapannya, misalnya ada orang kelaparan yang tidak memperoleh makanan kecuali daging babi, atau tidak mendapat minuman kecuali khamr, maka boleh baginya memakan atau meminumnya, karena darurat.
7. Memanfaatkan Benda Najis dan Haram dalam Pengobatan Hukumnya Makruh
Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat (khilafiyah). Ada pendapat yang mengharamkan, seperti Ibnu Qayyim Al-Jauyziyyah. Ada yang membolehkan seperti ulama Hanafiyah. Ada yang membolehkan dalam keadaan darurat, seperti Yusuf Al-Qaradhawi. Dan ada pula yang memakruhkannya. Di sini dicukupkan dengan menjelaskan pendapat yang rajih (kuat), yakni yang menyatakan bahwa berobat (at-tadaawi/al-mudaawah) dengan memanfaatkan benda najis dan haram hukumnya makruh, bukan haram. Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitabnya Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah III/109-110 telah menjelaskan kemakruhannya, dengan jalan mengkompromikan dua kelompok hadits yang nampak bertentangan/kontradiktif (ta’arudh) dalam masalah ini. Di satu sisi, ada hadits-hadits yang melarang berobat dengan yang haram dan najis, misalnya hadits Rasulullah SAW bersabda,"Sesungguhnya Allah tidak menjadikan obat bagimu pada apa-apa yang diharamkan." (HR Bukhari dan Baihaqi, dan dishahihkan Ibnu Hibban). Rasulullah SAW bersabda pula,"Sesungguhnya Allah SWT menurunkan penyakit dan obat, dan menjadikan setiap penyakit ada obatnya. Hendaklah kalian berobat, dan janganlah kalian berobat dengan sesuatu yang haram."(HR Abu Dawud). Di sisi lain, ada hadits-hadits yang membolehkan berobat dengan benda najis dan haram.
Misalnya hadits bahwa Nabi SAW membolehkan berobat dengan meminum air kencing unta. Diriwayatkan oleh Qatadah dari Anas RA, ada satu rombongan dari dari suku ‘Ukl dan ‘Uraynah yang mendatangi Nabi SAW dan berbincang seputar agama Islam. Lalu mereka terkena penyakit perut Madinah. Kemudian Nabi SAW memerintahkan mereka untuk mencari gerombolan unta dan meminum air susu dan air kencingnya… (HR Muslim) (Lihat Al-Wahidi, Asbabun Nuzul, hamisy [catatan pinggir] kitab Tafsir wa Bayan Kalimat Al-Qur`an, karya Syaikh Hasanain M. Makhluf, hal 168). Hadits ini membolehkan berobat dengan najis, sebab air kencing unta itu najis (Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al- Islamiyah, III/110). Dalam hadits lain dari Anas RA, bahwa Rasulullah SAW memberi keringanan (rukhsah) kepada Zubair dan Abdurrahman bin Auf untuk memakai kain sutera karena menderita penyakit gatal-gatal. (HR Bukhari dan Muslim) (Lihat Imam Nawawi, Terjemah Riyadhus Shalihin, I/623).
Hadits membolehkan berobat dengan benda yang haram (dipakai), sebab sutera haram dipakai oleh laki-laki, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits lain dalam riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan At-Tirmidzi. Bagaimana menghadapi dua kelompok hadits yang seolah bertentangan tersebut? Di inilah lalu Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani mengkompromikan (men-jama’) keduanya. Menurut An-Nabhani, sabda Nabi SAW untuk tidak berobat dengan yang haram ("janganlah kamu berobat dengan sesuatu yang haram") tidak otomatis menunjukkan keharaman, tapi sekedar menunjukkan tuntutan untuk meninggalkan perbuatan (thalab tarki fi’lin). Dalam hal ini, tuntutan yang ada adalah agar tidak berobat dengan yang haram. Lalu, tuntutan ini apakah akan bersifat tegas (jazim) ---sehingga hukumnya haram-- atau tidak tegas (ghairu jazim) -sehingga hukumnya makruh--, masih membutuhkan dalil lain (qarinah) yang menunjukkan sifat tuntutan tersebut. Nah, dua hadits di atas yang membolehkan berobat dengan benda najis dan haram, oleh An-Nabhani dijadikan qarinah (petunjuk) yang memperjelas sifat tuntutan tersebut. Kesimpulannya, tuntutan tersebut adalah tuntutan yang tidak tegas, sehingga hukum syara’ yang dihasilkan adalah makruh, bukan haram (Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al- Islamiyah, III/110). Dengan demikian, berobat dengan suatu materi yang zatnya najis, atau zat yang haram untuk dimanfaatkan (tapi tidak najis), hukumnya adalah makruh. Dengan kata lain, memanfaatkan benda yang najis dan haram dalam rangka pengobatan, hukumnya makruh. (Patut dicatat, benda yang haram (dimanfaatkan) belum tentu najis, seperti sutera. Sedang benda najis, pasti haram dimanfaatkan).
8. Menjualbelikan Benda Najis dan Haram Hukumnya Haram
Prinsip tersebut dirumuskan dalam kaidah fiqih "Kullu maa hurrima ‘ala al-ibaad fabay’uhu haram." (Segala sesuatu yang diharamkan Allah atas hamba-Nya, maka memperjualbelikannya adalah haram juga) (Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, II/248). Karena itu, memperjualbelikan babi, darah, khamr, dan patung adalah haram. Karena syariah telah mengharamkan memakan daging babi, memakan darah, meminum khamr, dan membuat patung. Dasar dari kaidah/prinsip itu adalah hadits-hadits. Di antaranya sabda Nabi SAW, "Dan sesungguhnya Allah, apabila mengharamkan suatu kaum untuk memakan sesuatu, maka haram pula bagi mereka harga hasil penjualannya." (HR Imam Ahmad dan Abu Dawud). Imam Asy-Syaukani menjelaskan hadits di atas dengan mengatakan,"Sesungguhnya setiap yang diharamkan Allah kepada hamba, maka menjuabelikannya pun haram, disebabkan karena haramnya hasil penjualannya. Tidak keluar dari (kaidah) kuliyyah/menyeluruh tersebut, kecuali yang telah dikhususkan oleh dalil." (Asy-Syaukani, Nailul Authar, V/221). Berdasarkan hal ini, memperjualbelikan benda yang najis dan haram untuk kepentingan pengobatan, tidaklah haram. Sebab berobat dengan benda najis dan haram hukumnya makruh, tidak haram.
C. Kesimpulan
Khamr dalam pengertian bahasa Arab (makna lughawi) berarti "menutupi". Disebut sebagai khamr, karena sifatnya bisa menutupi akal. Sedangkan menurut pengertian ‘urfi (menurut adat kebiasaan) pada masa Nabi SAW, khamr adalah apa yang bisa menutupi akal yang terbuat dari perasan anggur (Asy-Syaukani, Nailul Authar, IV/57). Sedangkan dalam pengertian syara', khamr adalah setiap minuman yang memabukkan (kullu syaraabin muskirin). Jadi khamr tidak terbatas dari bahan anggur saja, tetapi semua minuman yang memabukkan, baik dari bahan anggur maupun lainnya. Pengertian ini diambil berdasarkan beberapa hadits Nabi SAW. Di antaranya adalah hadits dari Nu'man bin Basyir RA bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya dari biji gandum itu t erbuat khamr, dari jewawut itu terbuat khamr, dari kismis terbuat khamr, dari kurma terbuat khamr, dan dari madu terbuat khamr" (HR Jama'ah, kecuali An- Nasa'i). Dari Jabir RA, bahwa ada seorang dari negeri Yaman yang bertanya kepada Rasulullah SAW tentang sejenis minuman yang biasa diminum orang-orang di Yaman. Minuman tersebut terbuat dari jagung yang dinamakan mizr. Rasulullah bertanya kepadanya, "Apakah minuman itu memabukkan?" "Ya" jawabnya. Kemudian Rasulullah SAW menjawab : "Setiap yang memabukkan itu adalah haram. Allah berjanji kepada orang-orang yang meminum minuman memabukkan, bahwa dia akan memberi mereka minuman dari thinah al-khabal. Mereka bertanya, apakah thinah al-khabal itu? Jawab Rasulullah,"Keringat ahli neraka atau perasan tubuh ahli neraka." (HR Muslim, An Nasa'i, dan Ahmad). Imam Bukhari, Muslim, dan Ahmad meriwayatkan dari Abu Musa RA bahwa ia berkata, "Saya mengusulkan kepada Rasulullah SAW agar beliau memberikan fatwanya tentang dua jenis minuman yang dibuat di Yaman, yaitu al bit'I dan al murir.
Yang pertama terbuat dari madu yang kemudian dibuat minuman hingga keras (bisa memabukkan). Yang kedua terbuat dari bijii-bijian dan gandum dibuat minuman hingga keras. Wahyu yang turun kepada Rasulullah SAW telah lengkap dan sempurna, kemudian Rasulullah SAW bersabda,""Setiap yang memabukkan itu haram." (HR Bukhari, Muslim, dan Ahmad). Dari Ibnu Umar RA, Rasulullah SAW juga bersabda,""Setiap yang memabukkan itu khamr, dan setiap khamr itu haram." (HR Muslim dan Daruquthni). Hadits-hadits itu menunjukkan bahwa khamr itu tidak terbatas terbuat dari perasan anggur saja, sebagaimana makna urfi, tetapi mencakup semua yang bisa menutupi akal dan memabukkan. Setiap minuman yang memabukkan dan menutupi akal disebut khamr, baik terbuat dari anggur, gandum, jagung, kurma, maupun ainnya. Berarti itu merupakan pengertian syar'i tentang khamr yang disampaikan Rasul SAW dalam haditshaditsnya (Abdurrahman Al-Maliki, Nizhamul Uqubaat, hal. 49-50). Dalam keadaan demikian, yakni setalah adanya makna syar'i --makna baru yang dipindahkan dari makna aslinya oleh syara'-- yang berbeda dengan makna lughawi dan makna ‘urfi, maka makna syar'i tersebut harus didahulukan daripada makna lughawi dan makna urfi. Jika khamr diharamkan karena zatnya, sementara pada hadits di atas dinyatakan bahwa "setiap yang memabukkan itu khamr", berarti itu menunjukkan kepada kita bahwa sifat yang melekat pada zat khamr adalah memabukkan. Karena sifat utama khamr itu memabukkan, maka untuk mengetahui keberadaan zat khamr itu atau untuk mengenali zatnya adalah dengan meneliti zat-zat apa saja yang memiliki sifat memabukkan. Kini, setelah dilakukan tahqiiq al manath (penelitian fakta), oleh para kimiawan, dapat diperoleh kesimpulan bahwa zat yang memilki sifat memabukkan dalam khamr adalah etil alkohol atau etanol. Zat inilah yang memiliki khasiat memabukkan. Minuman yang mengandung alkohol ini, dikenal dengan terminologi "minuman beralkohol". Walaupun bermacam-macam namanya dan kadar alkoholnya, semuanya termasuk kategori khamr yang haram hukumnya.
Daftar Pustaka
ü Sayyid Sabiq, Fiqhu Sunnah, I/28; Setiawan Budi Utomo, Fikih Aktual, 2003:205-206.
ü Apriyantono, Penentuan Kehalalan Produk Pangan Hasil Bioteknologi: Suatu Tantangan.
ü ‘Atha Ibnu Khalil, Taysir Wushul Ila Al-Ushul, hal. 16; Abdul Hamid Hakim, Mabadi` Awwaliyah, hal. 48; Al-Qaradhawi, Halam dan Haram dalam Islam, hal. 14-15.
ü http : //www.mui.or.id
ü http : //www.islamuda.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar